Sejarah Yap Tjwan Bing
Ditulis Tanggal 14-01-2018
Banyak yang tidak tahu, Joko Widodo adalah walikota pertama di Indonesia yang mengabadikan nama jalan dengan nama seorang tokoh Tionghoa: Yap Tjwan Bing.
Pada 22 Februari 2008, dalam rangka Imlek bersama di Solo, beliau mengganti nama Jalan Jagalan menjadi Jalan Yap Tjwan Bing, sekaligus menjadi simbol bahwa Solo adalah kota yang menjunjung tinggi kebhinekaan.
Siapa Yap Tjwan Bing? Lahir di Solo tahun 1910, dia adalah seorang sarjana Farmasi dan Apoteker lulusan Universitas Amsterdam tahun 1939, selain menjadi dosen serta anggota Dewan Kurator ITB Bandung. Atas permintaan Dr. Sardjito, yang menjadi rektor pertama Universitas Gajah Mada (UGM), Yap turut berperan serta dalam pembentukan Fakultas Farmasi UGM sekaligus menjadi dosen.
Selama studi di Belanda Yap Tjwan Bing dekat dengan Mohammad Hatta, dan melaluinya di kemudian hari berkenalan dengan Soekarno. Yap lalu terlibat membantu kaum pergerakan kemerdekaan. Tahun 1945 dia terpilih menjadi salah satu dari 21 anggota awal PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mewakili golongan Tionghoa.
YAP TJWAN BING (1910 - 1988)
Yap Tjwan Bing adalah seorang sarjana Farmasi dan apoteker yang juga dosen dan anggota Dewan Kurator ITB Bandung. Tahun 1945 terpilih menjadi salah satu anggota PPKI. Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan PNI. Namanya diabadikan menjadi salah satu ruas jalan di kota Surakarta menggantikan Jalan Jagalan yang diresmikan oleh Walikota Surakarta H. Ir Joko Widodo pada tanggal 22 Februari 2008 dalam rangka Imlek Bersama di kota Solo.
Yap Tjwan Bing dilahirkan di Slompretan, Solo, pada tanggal 31 Oktober 1910. Ayah Beliau bernama Yap Yoe Dhiam dan ibunya bernama Tan Tien Nio. Sedangkan saudara-saudara Beliau ada empat orang, yakni Yap Giok Nio, Yap Swan Nio, Yap Tjoen Sing, dan Yap Tjoen Hoei. Latar belakang keluarga Beliau adalah pedagang. Yap Tjwan Bing sempat meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda guna memperdalam jurusan apoteker (farmasi). Sebelumnya, Beliau sempat menikah di Madiun pada tahun 1932. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak, yang masing-masing bernama Dewi Yap Gwat Lee (wanita) dan Yap Siong Hoei (laki-laki).Semenjak masa mudanya, Yap Tjwan Bing telah mengetahui pahit getirnya kehidupan rakyat akibat penjajahan. Beliau semasa mudanya senantiasa bergaul tanpa membeda-bedakan, dan demikian pula dengan keluarga Beliau.Yap Tjwan Bing telah menjalin persahabatan dengan Bung Karno dan Bung Hatta, selaku proklamator kemerdekaan RI, bahkan Bung Karno sewaktu mengunjungi rehabilitasi sentrum di Solo pernah berjabat tangan dan memberikan beberapa nasihat dan mengharapkan agar Yap Siong Hoei putranya yg sakit lumpuh dapat sembuh kembali, .
Semasa hendak melanjutkan pendidikannya ke HBS, Yap Tjwan Bing merasakan diskriminasi penjajah terhadap masyarakat terjajah, baik itu golongan pribumi maupun Tionghua. Beliau tidak dapat melanjutkan ke HBS karena bukan berasal dari golongan ambtenaar yang berpangkat kapten atau mayor. Oleh karena itu, Beliau lantas melanjutkan pendidikannya ke AMS-B di Malang. Pada waktu itu, usaha ayah Yap Tjwan Bing mengalami kebangkrutan, sehingga tidak dapat meneruskan pembiayaan sekolahnya. Untung Beliau mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda
Semenjak muda, Yap Tjwan Bing telah memiliki pandangan yang tegas terhadap penjajahan. Beliau pernah berdebat dengan seorang guru bernama Mollen yang mengajar staatskunde (ketata-negaraan). Menurut Mollen, anggota Provinciale Raad (DPR Daerah) dan Gemente Raad (DPR Kotamadya) harus diangkat oleh pemerintah kolonial dan bukannya dipilih rakyat. Yap Tjwan Bing menentang pendapat ini dan berkeras bahwa cara yang benar adalah dengan sistim pemilihan
Ketika menginjak usia 18 tahun, Yap Tjwan Bing telah menaruh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Semasa melanjutkan studinya ke negeri Belanda, Yap Tjwan Bing membaca sebanyak mungkin buku-buku politik dan menceburkan dalam kegiatan politik di bawah pimpinan Mr. Sartono, salah seorang tokoh Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Mr. Sartono bersama Mr. Iwa Kusumasumantri pernah turut membela Bung Karno di pengadilan. Kekaguman Yap terhadap Bung Karno semakin tumbuh.
Kiprah Yap Tjwan Bing dalam perjuangan semakin nyata dengan diangkatnya Beliau sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan KNIP. Yap menjadi satu-satunya wakil dari golongan Tionghoa. Setelah disahkannya UUD 45, Yap Tjwan Bing merasa bangga karena bangsa Indonesia telah memiliki undang-undang dasarnya sendiri. Meskipun demikian, Yap Tjwan Bing tidak dapat mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden karena harus kembali ke kota Bandung akibat situasi kota tersebut yang tidak menentu.
Yap lalu meneruskan perjuangannya melalui PNI.